Berqurban, terutama saat berhaji, adalah meneladani perilaku Nabi Ibrahim a.s. ketika beliau diperintah oleh Allah dalam mimpinya untuk menyembelih anak lelakinya, Nabi Ismail a.s. Perintah Allah itu dengan serta merta langsung dipatuhinya. Namun, Allah kemudian menggantinya dengan sesembelihan berupa kambing (kibas) yang besar. Dalam peristiwa itu, setidaknya terdapat dua hikmah.
Pertama, menunjukkan ketaatan total kepada Sang Pencipta, walaupun itu berupa perintah untuk menyembelih anak sendiri. Kedua, mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas adanya kenikmatan dapat membayar tebusan (fidiah) itu.
Allah telah menjadikan orang yang menyembelih binatang qurban termasuk orang-orang yang telah diberi nikmat dan tidak menjadikannya termasuk golongan orang fakir yang berhak mendapatkan sedekah. Ini adalah suatu nikmat yang besar sekali.
Jika seorang jema'ah haji melakukan hal ini, maka sesungguhnya ia sedang berada di tingkat keluhuran tertinggi. Karena, tidak ada tempat dalam ketaatan manusia kepada Tuhannya yang lebih tinggi dari pada saat ia taat kepada Allah dalam segala perintah yang diperintahkan-Nya, meskipun hal itu terasa sangat berat bagi dirinya untuk dilaksanakan
Menyembelih binatang Qurban ini hanya diwajibkan bagi seorang jama'ah yang melakukan Haji tamattu dan haji qiran. Karena kedua cara haji ini dilarang dilakukan, lantaran perubahan yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah. Kegiatan qurban ini juga tak ubahnya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas semua kenikmatan yang diperoleh dengan terangkatnya dosa. Ini merupakan hikmah yang luar biasa.
Berqurban yang dilakukan oleh seorang jama'ah haji di tempat-tempat suci itu bukanlah kegiatan baru yang terjadi pada masa Islam saja. Karena, kegiatan seperti itu telah dilakukan semenjak dulu oleh umat-umat yang lain, sesuai dengan aliran dan kepercayaannya masing-masing.
Pada saat Islam datang, agama ini langsung membersihkan adat-adat yang tidak sesuai dengan keyakinan Islam. Qurban yang dilakukan pada masa lalu itu dijadikan sebagai sarana bagi seorang manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah, tentu saja hal itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan waktunya.
Perintah berqurban pertama kali yang dilakukan oleh umat manusia dan diceritakan oleh Allah dalam Al-Qur'an adalah qurban yang dilakukan Qabil dan Habil, anak Nabi Adam a.s. Keduanya sama-sama mempersembahkan qurban kepada Allah. Namun demikian, Allah hanya menerima qurban dari salah seorang dari keduanya, sedangkan yang lainnya tidak diterima.
Konon, qurban Qabil berupa salah satu buah-buahan dunia, sedangkan qurban Habil berupa sembelihan anak kambing. Allah telah menyampaikan cerita terbaik ini kepada Nabi Muhammad Saw melalui firman-Nya sebagai berikut, “Sungguh, jika engkau (Qabil) menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS Al-Maidah [5]:28).
Setelah terjadi musibah angin topan, Nabi Nuh a.s lalu membangun suatu tempat untuk berqurban berbagai macam hewan. Beliau juga menyembelih hewan-hewan qurban di tempat itu. Nabi Ibrahim a.s mendekatkan diri kepada Allah dengan bersedekah roti dan yang lainnya. Para ahli mengutip dari Nabi Ibrahim a.s bahwa beliau suatu saat diperintah oleh Allah untuk menyembelih anak sapi betina, anak kambing, kambing kibas, dan yang lainnya. Kitab perjanjian lama (9-17) menginformasikan sebagai berikut, “Setelah Ibrahim wafat, anak-anaknya mempersembahkan sembelihan untuk Allah, lalu mereka membakar sesembelihan itu. Keadaan seperti ini terus berlangsung hingga diutusnya Nabi Musa a.s.”
Nabi Musa a.s membagi sembelihan itu kedalam dua bagian yaitu sesembelihan yang tidak mengalir darahnya dan sesembelihan yang tidak mengalir darahnya. Yang dimaksud dengan tidak mengalir darahnya adalah, melepaskan hewan qurban tersebut itu dalam keadaan hidup ke padang pasir, sebagai persembahan untuk berhala. Tradisi itu terus berlangsung hingga datangnya Islam, yang kemudian mengharamkannya. Sembelihan yang mengalir darahnya bagi mereka terbagi lagi menjadi tiga bagian: sembelihan yang dibakar, sembelihan untuk melebur kesalahan, dan sembelihan untuk keselamatan. Bagian pertama dari hewan qurban hanya diambil kulitnya. Lalu secara khusus kulit itu diberikan kepada pemuka agama.
Bagian kedua adalah sembelihan untuk melebur kesalahan. Dan bagian ketiga adalah untuk keselamatan yang dimakan bersama-sama dengan para pemuka agama, karena sembelihan untuk keselamatan dagingnya halal bagi mereka. Mereka juga mensyaratkan sembelihan harus berupa hewan yang bebas dari segala cacat dan penyakit. Seseorang yang miskin dan tidak mampu mengorbankan hewan berkaki empat, maka baginya cukup berkurban dengan menyembelih burung.
Ketika penyembahan kepada berhala, patung-patung, dan bintang-bintang sudah mulai sirna, mereka lalu menyerahkan tumbuh-tumbuhan sebagai sesaji. Mereka membakar tumbuh-tumbuhan itu di atas altar. Bahkan, orang Yunani klasik memasukkan garam ke dalam Qurban mereka, sebagai simbol persahabatan. Selain meletakkan garam, mereka juga menyertakan gandum untuk dihidangkan kepada para hadirin.
Sementara itu, orang Romawi mempersembahkan sembelihan untuk dewa-dewa mereka. Orang yang menghadiri ritual keagamaan diharuskan mengambil daging qurban itu, guna mendapatkan berkah. Mereka memisahkan bagian tertentu dari sembelihan itu untuk para kerabat. Pada saat menyembelih kurban, para pemuka agama memercikkan madu dan air para hadirin. Tradisi ini kemudian berkembang. Para pemuka agama lalu memercikkan air mawar untuk setiap kegiatan ritual keagamaan.
Tradisi seperti ini terus dilakukan pada kebanyakan perayaan keagamaan dan berlangsung hingga kini. Qurban itu tidak terbatas pada hewan saja, bahkan umat-umat terdahulu telah melampaui batas. Mereka mempersembahkan qurban berupa manusia. Ini seperti pernah dilakukan oleh orang Phoenix, Kanaan, Samaria, Persia, Romawi, dan Mesir. Konon, orang Mesir tiap tahunnya pada tanggal 11 bulan Qibti mempersembahkan satu gadis perawan untuk sungai Nil. Acara pengorbanan itu dilangsungkan setelah mereka menghiasi gadis itu dengan perhiasan terbaiknya. Kemudian, mereka menenggelamkan perawan itu ke sungai yang dianggap sebagai bagian dari Tuhan-Tuhan mereka. Tradisi buruk ini terus berlangsung, hingga datanglah Amr bin Al-Ash yang menghancurkan tradisi itu. Seperti dikatakan, bahwa apa yang dilakukan oleh Amr bin Al-Ash itu telah disetujui oleh Umar bin Al-Khathab r.a.
Dari fakta diatas, kita bisa melihat kaum Muslimin adalah umat sekaligus bangsa paling awal yang mengharamkan pengorbanan manusia. Kaum Muslimin hanya menggiring sesembelihan mereka yang terdiri dari sapi, unta, dan kambing, pada musim haji. Daging sembelihan hewan qurban itu tidak untuk dinikmati sendiri, melainkan dibagikan kepada fakir miskin. Mereka yang tidak terbiasa menikmati makanan bergizi, setelah adanya qurban, bisa menikmatinya secara cuma-cuma. Ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas gizi umat.
0 komentar:
Posting Komentar