Saat itu suasana malam terasa gelap gulita, cuaca dingin menusuk tulang. Para sahabat pun beristirahat total di perkemahan ala kadarnya yang mereka dirikan, agar tubuh kembali segar dan sehat karena keesokan harinya mereka akan melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Mereka baru keluar meninggalkan Tabuk, negeri yang baru saja mereka taklukan dari tangan Romawi tanpa melalui kontak senjata; Rajab tahun 9 H.
Abdullah bin Mas’ud ra terbangun dari tidurnya. Sayup-sayup ia mendengar suara seseorang yang sedang menggali tanah. Terdorong perasaan ingin mengetahui apa yang terjadi, maka ia bangkit dan memandang ke alam sekitar. Samar-samar ia melihat ada cahaya lampu yang tidak benderang. Ia mendekat ke arah lampu tersebut.
Dari jarak yang tak terlalu dekat, ia melihat Rasulullah saw sedang berada di dalam liang, sementara Abu Bakar dan Umar berada di sekitar liang yang digali oleh beliau. Kedua sahabat itu menyinari beliau dengan pelita. Nabi saw bersabda, “Dekatkan jenazah saudara kalian kepadaku!.”
Ketika bersiap hendak meletakkannya di liang lahatnya, beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya sore tadi aku telah ridha kepadanya, maka ridhailah dia.”
Air mata menetes dari kedua mata beliau seraya bersabda, “Sesungguhnya ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Maka Ibnu Mas‘ud berkata, “Seandainya saja aku yang berada di liang tersebut.”
Ibnu Mas‘ud berkata, “Demi Allah, sungguh aku bercita-cita seandainya saja aku yang menempati posisinya. Padahal aku lebih dahulu masuk Islam 15 tahun sebelum dia.”
Saudaraku…
Siapakah sahabat mulia itu? Yang mana Rasulullah saw menggali liang dan menguburkan sahabat ini dengan kedua tangan beliau? Dia adalah Abdullah Dzul Bajadain Al Muzani. Sahabat yang syahid setelah berjuang melawan demam yang menderanya di Tabuk. Tentu anda belum mengenalnya bukan?
Namanya memang tidak setenar sahabat lainnya. Dan bahkan namanya sangat asing di telinga kita. Ia disebut Abu Nu’aim dalam kitab ‘al hilyah’ sebagai salah seorang ahli Shuffah. Tapi ketidak masyuran namanya bukan berarti tidak memiliki keistimewaan di hati Rasulullah saw. Beliau menggali kubur dan memakamkan sahabat ini dengan kedua tangan beliau, menjadi bukti betapa mulia sahabat ini di mata beliau.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa ia bernama; Abdul Uzza dari kabilah Muzaniyah. Yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Kedua orang tuanya meninggal dunia saat ia menikmati masa kanak-kanak. Lalu ia diasuh oleh pamannya sampai usia 16 tahun. Setelah mendengar beberapa ayat al Qur’an yang dibaca oleh sahabat Nabi dalam perjalanannya ke Madinah, ia memeluk Islam dan merahasiakan ke-Islamannya di hadapan pamannya selama tiga tahun. Jika ia hendak melaksanakan shalat, ia keluar ke padang sahara agar tak diketahui oleh paman dan masyarakatnya.
Setelah ia mengabarkan ke-Islamannya, sang paman marah dan menarik semua pemberian yang pernah ia berikan kepada Abdul Uzza. Tidak terkecuali baju yang melekat di tubuhnya. Namun ia tak bergeming. Karena hidup dalam naungan Islam tak bisa ditukar dengan harta dunia. Bahkan emas dan permata sekalipun.
Di tengah perjalanan menuju Madinah, ia menemukan seonggok kain. Ia mengambilnya dan membelahnya menjadi dua. Sehelai kain ia jadikan sebagai sarung. Dan yang lain ia jadikan sebagai selendang. Layaknya ia sedang ihram.
Ia sampai di Madinah sebelum Subuh. Dan kebiasaan Rasulullah saw setelah shalat, beliau memperhatikan wajah-wajah para sahabat satu persatu. Setelah beliau menemukan wajah asing yang belum pernah beliau lihat, beliau bertanya, “Siapakah engkau ini? Dan mengapa engkau berpakaian seperti ini?.”
Ia menjawab, “Namaku; Abdul Uzza. Dan aku mengenakan pakaian seperti ini karena pamanku mengusirku beberapa waktu yang lalu dan menarik semua pemberiannya kepadaku termasuk pakaian yang kukenakan. Aku sabar selama tiga tahun sehingga aku datang menemui Engkau dalam keadaan istiqamah mentaati Allah swt.”
Nabi saw bersabda, “Sejak hari ini engkau bukan lagi Abdul Uzza, tapi Abdullah Dzul Bajadain. Allah akan mengganti kedua potong pakaianmu ini dengan rumah dan pakaian di surga. Engkau bisa mengenakannya kapan engkau suka dan menikmati hidangan di dalam rumahmu apa yang engkau suka.”
Setelah itu ia menjadi penghuni Shuffah dan banyak menghafal al Qur’an dari Nabi saw.
Ia dikenal sebagai sahabat yang mengeraskan suara saat berdo’a dan memohon kepada Allah swt. Ibnu Adra’ menuturkan, ““Pada suatu malam aku pergi bersama Rasulullaah saw, kemudian beliau melewati seorang lelaki di dalam masjid sedang mengangkat suaranya tinggi-tinggi. Aku (ibn Adra’) berkata, ‘Wahai Rasulullaah, barangkali lelaki ini sedang riya’ (memamerkan ibadahnya).’ Beliau bersabda: “Bukan, dia sedang berdo’a dan mengadu.” H.R; Baihaqi.
Ketika hendak berangkat ke Tabuk, Dzul Bajadain berkata kepada Nabi, “Berdoalah kepada Allah agar mengaruniaiku kesyahidan wahai Rasulullah.”
Maka Nabi mengikatkan seutas tali berwarna coklat (terbuat dari batang sebuah pohon). Beliau berdoa, “Ya Allah, aku mengharamkan darahnya untuk orang-orang kafir.”
Mendengar doa beliau, Dzul Bajadain berkata, “Bukan itu yang kuinginkan.”
Nabi bersabda, “Sesungguhnya ketika engkau keluar untuk berperang, kemudian engkau sakit demam hingga wafat, atau terlempar dari hewan tungganganmu hingga lehermu patah, maka engkau adalah syahid.”
Dan sejarah mencatat, ia syahid karena demam yang dideritanya. Allah dan rasul-Nya meridhaimu wahai Dzul Bajadain.
Baca Juga Kisah Menarik lainnya
Kerikil Ajaib Ini Bertasbih
Terapi Al-Quran Hancurkan Kanker Ganas
MENANGIS KARENA LUPA LETAK SATU AYAT
Tiga Nenek Dengan Tekad Luar Biasa ,Tidak Kenal Lelah Dalam Menghafal Al-Qur’an
Ummu Shalih, 80 Tahun Menjadi Hafizah Al-Qur’an
Kesibukan Sebagai Dokter Tidak Menjadi Penghalang Untuk Menjadi Hafizh Al Qur’an
0 komentar:
Posting Komentar